Filsafat Analitik (The Philosophy of Language) an Introduction

A. Pengertian Filsafat Bahasa

Sebelum memulai pengertian filsafat bahasa, penulis akan menjelaskan lebih awal arti kata masing-masing. Kata filsafat (Arab: falsafah, Inggris: philosophy) berasal dari kata philosophia yang berasal dari Yunani. Kata philosophia tersebut berasal dari dua susunan kata yaitu “philos” yang berarti sahabat dan “sophia” yang berarti kebijaksanaan. Secara terminologis, filsafat adalah berfikir secara radikal terhadap segala sesuatu yang ada. Memang, meskipun tidak ada kesepakatan dalam satu pendefinisian, namun secara umum obyek kajiannya adalah segala sesuatu yang wujud.

Bahasa merupakan sesuatu yang melekat pada manusia. Ia melekat pada kita sebagaimana nafas dan gerak kita sehari-hari, namun sampai saat ini jarang sekali orang-orang menelitinya lebih dalam. Kajian-kajian tentang bahasa (bukan kajian bahasa) masih dianggap minim dan kurang. Konon, orang-orang Yunani cenderung menilai bahasa hanya sebagai ekspresi pikiran, namun mereka melupakan bahwa bahasa justru juga bisa mempengaruhi pikiran.

Bahasa juga merupakan sesuatu yang membedakan antara makhluk yang berakal dengan makhluk yang lain. Dalam bahasa Arab, kata “manthiq” disimbolkan untuk logika. Derivasi kata “manthiq” adalah “nathaqa-yanthiqu-nathqan”. Dalam pemaknaan, kata tersebut mempunyai dua makna atau bisa disebut “musytarak” antara ‘berpikir’ dan ‘berbicara’. Dari sini kita bisa melihat bahwa kegiatan berpikir terkait erat dengan kegiatan berbicara, karena berbicara berarti mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran. Dan -tentunya- di sini kita tidak perlu membedakan antara kata “berbahasa” dan “berbicara” karena keduanya adalah sama alias sinonim.

Secara terminologis menurut Bloomfield, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Karena merupakan sistem, bahasa mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan struktur unsur-unsur yang bisa dianalisis secara terpisah-pisah.

Lantas apakah yang dimaksud dengan filsafat bahasa?
Veerhar menunjukkan dua jalan dalam penggunaan istilah filsafat bahasa.
1. Filsafat Mengenai Bahasa
Seorang filsuf mempunyai sistem tersendiri yang dipakainya untuk mendekati bahasa sebagai objek kajian khusus seperti ia mendekati objek-objek yang lain dengan pijakan system yang sama. Hal demikian bisa dicontohkan seperti seperti ilmu psikolinguistik dan sosiolinguistik.
2. Filsafat Berdasarkan Bahasa
Yang dimaksud Filsafat Berdasarkan Bahasa adalah seperti seorang filsuf yang sedang berfilsafat dan menjadikan bahasa sebagai titik pangkal untuk kegiatan berfilsafat tersebut. Bahasa dalam hal ini dapat mengungkapkan gerak-gerik hati manusia, bagaimana ia berpikir, bagaimana pandangannya mengenai dunia dan manusia itu sendiri tanpa terlebih dahulu menyusun sebuah sistemnya. Dalam hal ini, Veerhar memberikan dua pengertian bahasa yang dijadikan titik pangkal tersebut:
a. Bahasa dalam pengertian eksklusif atau bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari.
b. Bahasa dalam pengertian inklusif atau bahasa yang tidak digunakan sehari-hari dalam komunikasi seperti bahasa tari, bahasa musik dan bahasa alam semesta.
Menurut Rizal Mustansyir, filsafat bahasa adalah suatu penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang digunakan dalam filsafat sehingga dapat dibedakan penyataan filsafat yang mengandung makna (meaningfull) dengan yang tidak bermakna (meaningless).


B. Sejarah Perkembangan Filsafat Bahasa

Lahirnya filsafat bahasa ada kaitannya dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya, terutama Rasionalisme, Empirisme Inggris dan Kritisime Immanuel Kant. Sebagai salah satu aliran filsafat yang lahir pada abad XX, Filsafat Analitik merupakan reaksi terhadap aliran ‘Idealisme’ alias ‘Neo-Hegelianisme’ di Inggris.
Walaupun sebenarnya Idealisme tidak begitu cocok dengan cara pemikiran di Inggris yang sejak abad pertengahan lebih cenderung kepada empirisme yang cukup segan terhadap metafisis, namun sangat mengherankan bahwa aliran Idealisme ini muncul dan meluas di Inggris di mana ia lebih bercorak spekulatif-metafisis.
Pada awal abad XX iklim pemikiran di Inggris mulai berubah. Para pemikir di Inggris mulai mencurigai ungkapan-ungkapan yang di ajarkan oleh kaum Hegelian. Para ahli filsafat inggris mulai menengarai bahwa filsafat yang mereka ajarkan, bukan hanya sulit dipahami, tapi juga jauh dan menyimpang dari akal sehat. Karena itu, para ahli pikir inggris mulai berupaya melepaskan diri dari cengkraman ‘idealisme’ tersebut. Mereka menulis banyak kritikan dalam upaya mengembalikan pemikiran Inggris ke dalam pemikiran sehat dan berdasarkan akal sehat. Awalnya upaya ini dilakukan George Edward Moore disusul Bertand Russel dan Wittgenstein.
Metode analisa bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Para filsuf analitik yang berpegang teguh pada metode analisa bahasa bermaksud membersihkan dan menyembuhkan pemakaian bahasa dalam berfilsafat. Sebab para filsuf analitik menganggap bahwa bahasa filsafat sudah mulai banyak mengandung kekaburan arti (vagueness), kemaknagandaan, ketidak-eksplisitan (inexpliciteness), terlalu tergantung pada konteks (context depence) serta menyesatkan (misleading).
Walaupun dalam perkembangan selanjutnya, metode analisa bahasa yang digunakan oleh mereka mulai berbeda-beda, tapi satu kesamaan dan misinya adalah ‘mengkritik pemakaian bahasa dalam berfilsafat’. Sebagaimana dapat kita jumpai pada tulisan Moore dalam karyanya “the Refutation of Idealism” yang dimuat di majalah Mind, dia memberi kritikan sebagai berikut: “Filsafat kaum Hegelian tidak memiliki dasar logika sehingga tidak dapat diterima akal sehat (common sense)”. Sebagian besar filsafat Moore terdiri dari analisa-analisa. Moore mempraktekkan metode analisa dengan ketelitian yang mengagumkan sehingga menimbulkan penjelasan bahwa filsafat tidak lain adalah penjelasan.
Kehadiran metode analisis bahasa dalam ranah filsafat yang selanjutnya semakin merebak, tidak hanya merupakan reaksi terhadap aliran filsafat yang muncul sebelumnya, akan tetapi juga menandai kelahiran metode filsafat yang baru yang bercorak ‘logosentrisme’.

C. Ruang Lingkup Pembahasan Filsafat Bahasa

Sebelumnya, perlu ditekankan di sini mengenai perbedaan antara Ilmu Bahasa dan Filsafat Bahasa agar tidak terjadi kerancuhan. Ilmu Bahasa atau ‘linguistic’ membahas mengenai ucapan, tata bahasa dan kosakata sedangkan Filsafat Bahasa lebih berkenaan bagaimana suatu ungkapan bahasa itu mempunyai arti sehingga analisa filsafati tidak lagi dimengerti berdasarkan logika teknis (baik logika formal maupun matematik) tetapi berdasarkan penggunaan bahasa biasa. Atau dengan kata lain ia membahas segi makna bahasa (semantic) dan masalah penggunaan bahasa menurut aturan tertentu (pragmatic) dalam bidang filsafat.
Sebuah gambaran cukup jelas mengenai ruang lingkup pembahasan filsafat bahasa telah dijelaskan oleh Mortiner Adler dalam karyanya, ‘The condition of Philosophy’. Mula-mula dia memaparkan perbedaan yang tajam mengenai dua macam pertanyaan filosofis, yaitu ‘pertanyaan jenis pertama’ dan ‘pertanyaan jenis kedua’. Pertanyaan jenis pertama yaitu pertanyaan tentang apa yang terjadi di dunia ini, sedangkan pertanyaan yang kedua adalah pertanyaan mengenai pemikiran kita sewaktu menjawab ‘pertanyaan pertama’. Nah, filsafat bahasa lebih menitik beratkan pada ‘pertanyaan kedua’ tersebut.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah jenis-jenis ‘pertanyaan pertama’ dan ‘pertanyaan kedua’:
Pertanyaan Pertama:
1. Apakah penyebab pertama dari alam semesta? (pertanyaan yang kerap muncul pada era ‘Kosmosentris’)
2. Apakah hakikat manusia itu?
3. Apakah Tuhan ada? Atau tidak ada?
Pertanyaan Kedua:
1. Apakah arti pertanyaan “Apakah penyebab pertama dari alam semesta?”? Apakah pertanyaan demikian itu mengandung arti atau nirarti?
2. Apakah arti pertanyaan “Apakah hakikat manusia itu?”? Apakah pertanyaan tersebut berartia atau nirarti?
3. Apakah pertanyaan “Apakah Tuhan ada? Atau tidak ada?”? Apakah pertanyaan tersebut berarti atau tidak?
Dari sini kita dapat melihat bahwa model pertanyaan yang disuguhkan dalam filsafat bahasa bukan dihadapkan pada realitas, tetapi justru mengkritisi pertanyaan-pertanyaan dan ungkapan-ungkapan tentang realitas yang konon banyak disampaikan oleh kaum Hegelian.
Pada titik ini, Mazhab Analisa Bahasa tampak kelemahannya sebagaimana yang dilontarkan oleh Popper “Mazhab Analisa Bahasa dengan orang yang terus menerus membersihkan kacamatanya tetapi tidak pernah menggunakannya untuk melihat”. Tapi dari sini pula kita bisa melihat kekuatan yang dimiliki Analisa Bahasa, yaitu dengan ketidak-terlibatannya dengan realitas, Analisa Bahasa berada pada posisi netral. Dalam posisi ini mereka dapat menjalankan misi mereka dengan penuh obyektif dalam membersihkan bahasa filsafat dari ungkapan yang tidak bermakna atau omong kosong para filsuf sebelumnya tentang realitas.

0 komentar:

Posting Komentar