Mengenal Shadra dan Filsafat Hikmah

Mulla Shadra adalah salah seorang pemikir besar dalam Islam yang lahir di Persia, demikian juga dia adalah salah satu di antara empat pendiri madzhab filsafat islam, yaitu al-hikmah al-muta`aliyah atau kerap diartikan dengan teosofi transendetal.
Sebelum mengulas lebih banyak mengenai filsafat al-hikmah al-muta`aliyah ini, dirasa perlu kiranya untuk membicarakan background yang melatarbelakangi lahirnya seorang pemikir besar abad 17 ini.

Pada mulanya Persia merupakan sebuah negara, sebelum Islam masuk, yang tidak dimasuki kristensisasi. Meskipun agama yang dianut mayoritas adalah Zoroaster dan Majusi, namun proses hellenisasi telah memasuki dunia mereka lebih awal, terutamanya Jundisapur sebagai pusat hellenisasi. Di sinilah letak perbedaan antara Persia dengan Negara jajahan Kristen lain, dimana Negara lain mendapat pengaruh hellenisasi setelah mereka mendapatkan kristenisasi.

Sejak Islam memasuki Persia, negara ini dikenal banyak menghasilkan para ilmuan yang ahli dalam bidang filsafat dan sains. Banyak di antara mereka yang menjadi pemikir besar yang mempunyai banyak pengaruh dalam dunia Islam, filsafat dan sains.

Pada masa dinasti Syafawi (1501-1786), ada beberapa kota besar yang merupakan pusat kebudayaan dan pengetahuan, tak terkecuali Syiraz. Di sinilah Mulla Shadra lahir pada tahun 1571M. Syiraz termasuk wilayah Persepolis. Di kota inilah banyak para ilmuan Islam dalam bidang filsafat dan sains bermunculan. Jika dihitung sejak sebelum dinasti Syafawi berkuasa, mereka menikmati transfer keilmuan di kota ini selama hampir dua abad. Di samping itu, kota Syiraz juga mendapatkan banyak pengaruh, agaknya, dari seorang mistikus agung, Ibn Manshur Al-Hallaj. Karena itulah kota Syiraz juga kerap disebut sebagai ‘the tower of mystic’ atau pilar para sufi.

Konon, Shadra lahir di kota Syiraz ini pada tahun 1571. Dia merupakan anak dari salah seorang penguasa pada masa itu, yakni Khwajah Ibrahim ibn Yahya al-Qawami. Nama yang diberikan pada mulanya adalah Shadruddin Muhammad, namun kemudian dia kerap dipanggil dengan Shadruddin atau Shadra. Kota Syiraz adalah tempat pertama di mana Shadra mendapatkan pendidikannya di samping pendidikan dari keluarganya. Namun pada tahun 1577, oleh karena pusat pemerintahan pindah ke Qaswin, orang tua Shadra juga turut berimigran sehingga kemudian Shadra melanjutkan pendidikannya di sini.

Di Qaswin inilah, Shadra mulai kenal dengan beberapa tokoh pemikir besar pada masa itu. Sebagaimana Syiraz, Qaswin juga merupakan kota pusat yang tidak kalah dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan peradabannya. Di samping itu, oleh karena pusat pemerintahan berpindah ke sini, tak ayal, pusat peradaban-pun ikut berpindah. Sehingga banyak para pencari ilmu, karena hal ini menjadi budaya kala itu, turut memenuhi kota Qaswin untuk menempuh ilmu dengan berpindah menuju kota ini.

Guru Pertama Mulla Shadra adalah Baqir Muhammad Astarabadi (w.1631) atau kerap dipanggil dengan sebutan Mir Damad. Mir Damad lahir di Astarabad, kemudian besar di Masyhad. Orang-orang mengenalnya sebagai seorang filsuf, selain itu dia juga dikenal sebagai seorang sufi. Keistimewaannya adalah penggabungan yang dia lakukan antara filsafat Aristoteles serta Neo-Platonisme yang diambil dari para sufi sebelumnya. Mir Damad kerap disebut sebagai peletak dasar filsafat Islam madzhab Isfahan. Dia mendapat banyak pengaruh dari Suhrawardi dalam filsafat iluminasionisnya, dan oleh karena itulah ia juga kerap disebut sebagai guru ketiga setelah Aristoteles dan Al-Farabi.

Dari Mir Damad, Shadra banyak mempelajari ilmu-ilmu rasional (al-ulum al-aqliyyah) serta filsafat peripatetik Ibn Shina dan iluminasionistik Suhrawardi dengan Kitab yang dikarang oleh Mir Damad sendiri, yaitu al-Qabasat. Dalam buku kecilnya yang berjudul Gerbang Kearifan, Prof. Mulyadhi Kartanegara bahkan menyebutkan bahwa sebenarnya Mulla Shadra masih termasuk golongan dari filsafat madzhab Isfahan yang didirikan oleh Mir Damad. Tetapi oleh karena Mulla Shadra mempunyai beberapa perbedaan dalam ajaran filsafatnya, maka para sejarawan kerap menyendirikannya dengan suatu aliran, yakni teosofi transendental. 

Guru Kedua dari Mulla Shadra adalah Mir Abul Qasim Findiriski. Beliau dikenal dengan kehliannya dalam bidang tasawwuf dan filsafat. Darinya, Shadra belajar banyak tentang filsafat peripatetik dan tasawwuf. Mir Abul Qasim Findriski juga dikenal banyak membantu Mir Damad dalam pelajarannya.

Guru Ketiga Shadra adalah Baha` al-Din Muhammad al-Amili (953 – 1030 atau 1031 H), lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Baha`i. Beliau dikenal tidak hanya sebagai filsuf, tapi juga dikenal keahliannya dalam Ilmu Kalam, seorang hakim, penyair, arsitek dan ahli matematika. Darinya, Shadra banyak belajar mengenai Ilmu Tafsir, Hadis dan Fiqh.

Dari kota Qaswin, Shadra berpindah menuju Isfahan mengikuti gurunya. Di sini Shadra belajar dan mendalami ilmunya selama kurang dari sepuluh tahun. Setelah itu, Shadra meninggalkan Isfahan oleh karena perlawanan dari kaum Akhbariyyun yang sangat literal dalam memahami agama. Namun ada perbedaan pendapat tentang Kota tujuan Shadra berikutnya. Ada yang mengatakan dia kembali ke Syiraz dan ada yang mengatakan dia menyendiri di Kahak. Oleh karena ketekunan ibadahnya, pada saat itu Shadra bermimpi dan mendapat petunjuk dari mimpi itu sebagai jawaban atas pertanyaannya tentang kenapa orang-orang kerap mengkafirkannya. Di mimpi bertemu dengan gurunya, Mir Damad dan dia menjawab bahwa “mereka tidak mengkafirkanku karena aku menjelaskan dan menulis sedangkan engkau hanya menjelaskan dan tidak menulis”. Sejak itulah, Shadra mulai menulis berbagai karangan besarnya, terutama Al-Asfar al-Arba`ah.

Filsafat Teosofi Transendental

Aliran al-hikmah al-muta`aliyah merupakan hasil sintesa dari tiga aliran filsafat Islam yang lain, yaitu al-masya`i (peripatetik), al-`irfani (tasawwuf) dan al-isyraqi (iluminasionistik). Dari segi epistemologis, filsafat teosofi transendental ini tidak jauh berbeda dari filsafat irfani. Sebagaimana filsafat irfani, filsafat teosofi transendental percaya tidak hanya pada akal-diskursif tapi juga pengalaman batin. Tentunya dari sini pula bisa dikatakan bahwa kebenaran bisa didapat dari pengalaman batin yang bisa dimasukkan dalam akal-diskursif.

Seperti para sufi juga, Mulla Shadra berargumen tentang ittihad al-aql wa al-ma`qul (bersatunya antara akal yang memikirkan dan yang dipikirkan). Hal demikian adalah karena yang dipikirkan tidak mungkin secara rasional ada tanpa ada yang memikirkan. Ma`qul (yang dipikirkan) akan hendak terputus hubungannya dengan `Aqil (yang memikirkan) jika dipandang sama sekali lain daripada dirinya. Atau lebih gamblangnya, yang berpikir tidak lain daripada yang dipikirkan. Antara yang berpikir dan sasarannya tidak lain adalah dirinya sendiri.

Demikian adalah epistemologi filsafat al-hikmah (demikian juga sebutan lain dari al-hikmah al-muta`aliyah). Sekarang kita melangkah ke pembahasan berikutnya, yakni ontologi filsafat al-hikmah. Dalam pembahasan ontologi ini, agaknya perlu diutamakan argumen Shadra tentang ishalat al-wujud atau wujud yang utama. Berbeda dengan Suhrawardi yang mengatakan bahwa yang utama adalah esensi (mahiyyah), Shadra mengatakan bahwa yang real dan utama adalah eksistensi (karena itulah, filsafat Mulla Shadra kerap juga disebut sebagai filsafat eksistensialisme Islam). Yang real adalah yang sebenarnya, sedangkan esensi atau mahiyyah hanya ada pada alam pikiran, dan sampai kapanpun ia tidak akan pernah nyata. 

“Betul bahwa apa yang kita pahami (mafhum atau konsep) tentang wujud itu memang adalah esensi. Tetapi yang kami maksud di sini adalah wujud sejati dan bukan hanya konsep atau pemahaman kita tentang wujud. Karena kalau itu yang dimaksud, maka ia adalah esensi yang hanya ada dalam alam pikiran (adzhan) dan bukan realitas sejati (a`yan), wujud sejati bukan esensi atau pemahaman tentang wujud melainkan wujud itu sendiri”

Kutipan di atas adalah kritik yang dijulurkan oleh Mulla Shadra dalam menanggapi filsafat iluminasionis yang didirikan oleh Suhrawardi al-Maqtul. Ukuran yang dipakai Mulla Shadra bahwa sesuatu tersebut real atau tidak adalah dengan menggunakan ukuran empiris.

Sesuatu yang wujud dan real itu tidak ber-urgensi untuk dibuktikan. Karena ia dengan sendirinya telah terbuktrikan (self-evident atau badihi), karena sebelum kita mengatakan bahwa sesuatu (apa saja itu) wujud, kita harus (secara otomatis) mengetahui dan meyakini bahwa sesuatu itu ada yang tidak merujuk kepada apapun kecuali kepada dirinya sendiri.

Selanjutnya mari kita lihat konsep Shadra tentang wahdat al-wujud. Konsep ini merupakan pengaruh yang didapat oleh Shadra dari Ibnu Arabi. Tapi pada hakikatnya ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. Konsep wahdat al-wujud ini, kira-kira bisa digambarkan demikian; bahwa merujuk pada apapun itu, entah Tuhan atau sebutir pasir, wujud tetaplah satu. Memang berbeda antara keduanya, yang membedakannya hanyalah degradasi atau level wujudnya. Hal demikian agaknya sama dengan konsep cahaya dalam madzhab iluminasionistik oleh Suhrawardi. Mungkin saja yang demikian tadi adalah pengaruh filsafat yang diterima Shadra dari gurunya, Mir Damad dan Mir Fandiriski. Bahwa cahaya pada dasarnya adalah satu dan semakin jauh cahaya itu dari sumbernya maka semakin tidak murni. Demikian halnya dengan wujud alam semesta, bahwa semakin ia jauh semakin ia berdegradasi rendah. 

Konsep yang demikian tersebut dinamakan dengan tasykik al-wujud atau degradasi wujud (Fazlur Rahman mengartikannya sebagai ambiguitas sistemik). Tasykik al-wujud di sini agaknya mirip dengan konsep Ibnu Arabi tentang Ahadiyyah dan Wahidiyyah, di mana selain mempunyai wujud tunggal ia sekaligus berdegradasi dan banyak. Hal inilah yang kerap disebut sebagai ‘the inclusive unity’.

Konsep tasykik al-wujud ini banyak diungkapkan oleh Shadra dalam kitabnya Al-Hikmah Al-Muta`aliyah fi Al-Asfar Al-Arba`ah atau yang sering disebut Al-Asfar Al-Arba`ah. Dalam kitab ini beliau menjelaskan empat tahap spiritual yang musti dilalui setiap orang untuk menuju kesempurnaan atau dengan bahasa lain untuk mencapai degradasi wujud yang tertinggi.

Secara umum dia mengatakan bahwa wujud terbagi menjadi tiga, yaitu, Materi, Non-Materi dan Tuhan. Alam sendiri dibagi menjadi tiga, yakni, Pertama, Alam Mulk atau alam materi. Di alam ini dijumpai berbagai benda yang berwujud dan berwarna yang tergantung waktu dan tempat. Material yang terkait dengan waktu adalah diidentikkan dengan rusak, karena memang demikianlah sifat materi alam mulk itu sendiri, semakin lama waktu yang dilalui suatu benda semakin ia mendekati kerusakannya. Alam ini merupakan degradasi paling rendah dari yang lain. Semakin mendekati ketinggian, semakin spiritual dan semakin murni ia.

Selanjutnya yang kedua adalah Alam Malakut. Di alam ini tidak di kenal ruang dan waktu, karena itulah tiada batas di dalamnya. Di sini akan ditemukan berbagai form atau bentuk, dengan berbagai macam warna memang. Tapi itu semua tidak terikat waktu ataupun tempat. Oleh karena alam ini berada di antara dua alam, yakni alam Mulk (Materi) dan alam Jabarut (Spiritual Murni) maka ia kerap juga dijuluki dengan sebutan alam Barzakh. Barzakh disini bukan seperti yang banyak digambarkan orang mengenai siksa kubur dan berbagai hal yang menakutkan, bukan hanya itu saja, tetapi di sini juga terdapat berbagai kebaikan dan keindahan. Contoh singkat dalam menggambarkan alam ini adalah alam mimpi yang kerap kita rasakan dan kita lihat. Kurang lebih demikianlah gambaran alam malakut atau alam Barzakh ini. Yang ketiga adalah Alam Jabarut atau alam spiritual murni yang terlepas dari waktu dan tempat dan bahkan form dan warna.

Al-Asfar Al-Arba`ah yang diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Empat Perjalanan adalah proses yang ditempuh seseorang dalam menapaki perjalanan untuk menuju kesempurnaan, adapun empat perjalanan tersebut yaitu:

1. Al-Safar min al-Khalq ila al-Haqq (Perjalanan dari makhluk menuju al-Haqq)
2. Al-Safar fi al-Haqq ma`a al-Haqq (Perjalanan bersama dan di dalam al-Haqq)
3. Al-Safar min al-Haqq ila al-Khalq bi al-Haqq (Perjalanan dari al-Haqq menuju Makhluk dengan disertai al-Haqq)
4. Al-Safar fi al-Khalq bi al-Haqq (Perjalanan di dalam Makhluk dengan al-Haqq)

Satu hal yang menarik dan khas berasal dari Mulla Shadra adalah konsep ‘al-harakah al-jauhariyyah’ atau trans-substantial movement (gerak atau perubahan trans-substansi). Dalam konsep ini, dia memaksudkan bahwa perubahan terjadi bukan hanya pada level aksidental tapi juga substansial. Dengan kata lain, bahwa bahkan perubahan pada level aksidental itu terjadi oleh karena perubahan yang lebih awal terjadi dahulu pada level substansial. Dari konsepnya yang ini, Shadra juga cakap kiranya disebut sebagai filsuf proses. Jika di Barat kita menemukan Whitehead dan Darwin, maka Shadra telah melampaui lebih awal daripada mereka.

Sumber:
Al-Mandari, Mustamin. 2010. Mulla Shadra; Jurnal Islam dan Mistisisme, Yogyakarta : Rausyan Fikr
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Gerbang Kearifan, Jakarta : Lentera Hati
Read more

Kakek Moyang Nusantara dan Pluralisme

Agama Hindu merupakan agama yang pertama kalinya memperkenalkan diri di Bumi Nusantara. Banyak sekali hikmah yang dapat kita ambil dari konsep-konsep ajarannya. Terima atau tidak, agama inilah yang telah membudaya untuk kali pertamanya di Indonesia sehingga Islam yang datang belakangan-pun harus menyesuaikan ajarannya dengan budaya setempat.

Di dalam Agama Hindu dikenal konsep Trimurti, yaitu tiga Dewa yang menguasai Alam Semesta; yaitu Brahma sebagai Pencipta, Wisnu sebagai Pemelihara dan Siva sebagai Pengakhir. Agama Hindu mempunyai tiga sekte; 1. Saiwa, Sekte yang lebih mengutamakan Dewa Siva, 2. Vaisnava, Sekte yang lebih mengutamakan Dewa Wisnu, 3. Sakta, Sekte yang lebih mengunggulkan Dewi Sakti.

Dewi Sakti sebenarnya bukan berasal dari konsep Agama Hindu. Ia ada sebelum suku Arya datang ke India. Bukti keberadaan suku Aryan ini terdapat di beberapa situs purbakala peninggalan India di Mohenjo Daro dan Harappa (sekarang terletak di Pakistan). Dewi Sakti merupakan representasi dari kekuatan wanita di balik lelaki. Dewi ini selanjutnya dikenang dalam sebuah sekte, yakni sekte Sakta. Selanjutnya tiga sekte agama Hindu tersebut dalam perkembangannya, Dewa Brahma tidak terbentuk menjadi sekte tertentu.

Konon, dahulu hingga saat ini dua di antara tiga sekte tersebut, Saiwa dan Vaisnava bersaing ketat dalam rangkaian kisah mitologinya sehingga perbedaan dalam satu wadah tersebut terasa cukup membawa kesan persaingan.
Nyata bahwa Hindu dari India-lah kali pertama agama yang memasuki Nusantara. Agama Hindu yang masuk ke Indonesia adalah Hindu Sekte Saiwa. Sedangkan sekte Vaisnava tidak memasuki bumi Nusantara. Beda India, Beda pula Indonesia. Sekte Saiwa yang berkembang di Nusantara sama sekali tidak pernah bersaing, bahkan pemeluk sekte Saiwa tersebut sangat mengesankan persahabatan dengan paham keagamaan sekte Vaisnava.

Candi Prambanan merupakan saksi bisu akan suasana pluralistik tersebut. Candi tersebut merupakan tempat peribadatan yang dibuat oleh umat Hindu-Saiwa untuk memuji Dewa Siva, namun pahatan yang terdapat di sekeliling candi ini menggambarkan kisah Ramayana dan Krisna yang merupakan titisan Dewa Wisnu. Dari sini kita bisa melihat bahwa Sekte Saiwa menghargai Sekte Vaisnava. Citra kepahlawanan Wisnu berkembang di Jawa sebagai Dewa yang selalu menyelamatkan umat manusia. Di sisi lain memang posisinya adalah sebagai pemelihara alam semesta.

Indonesia musti bangga akan sejarah kesatuan dan suasana pluralistik (antar sekte dalam satu agama) yang berkembang pada masa itu. Salah satu ungkapan dari Kitab Sutasoma oleh Mpu Tantular sepatutnya menjadi cerminan bagi kita dalam mewujudkan kembali suasana keberagamaan yang terkemas dalam penghargaan kepada sekte lain dalam satu wadah. Bhinne Ika Tunggal Ika (Beda Itu Satu Itu) Tan Hanna Dharma Mangrwa (Tidak Ada Kebenaran / Darma yang mendua). Wujud eksoteris boleh berbeda, namun wujud dan tujuan esoteris pasti sama.

Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrwa !!! Bersatulah Indonesiaku !!!
Read more