Mengenal Shadra dan Filsafat Hikmah

Mulla Shadra adalah salah seorang pemikir besar dalam Islam yang lahir di Persia, demikian juga dia adalah salah satu di antara empat pendiri madzhab filsafat islam, yaitu al-hikmah al-muta`aliyah atau kerap diartikan dengan teosofi transendetal.
Sebelum mengulas lebih banyak mengenai filsafat al-hikmah al-muta`aliyah ini, dirasa perlu kiranya untuk membicarakan background yang melatarbelakangi lahirnya seorang pemikir besar abad 17 ini.

Pada mulanya Persia merupakan sebuah negara, sebelum Islam masuk, yang tidak dimasuki kristensisasi. Meskipun agama yang dianut mayoritas adalah Zoroaster dan Majusi, namun proses hellenisasi telah memasuki dunia mereka lebih awal, terutamanya Jundisapur sebagai pusat hellenisasi. Di sinilah letak perbedaan antara Persia dengan Negara jajahan Kristen lain, dimana Negara lain mendapat pengaruh hellenisasi setelah mereka mendapatkan kristenisasi.

Sejak Islam memasuki Persia, negara ini dikenal banyak menghasilkan para ilmuan yang ahli dalam bidang filsafat dan sains. Banyak di antara mereka yang menjadi pemikir besar yang mempunyai banyak pengaruh dalam dunia Islam, filsafat dan sains.

Pada masa dinasti Syafawi (1501-1786), ada beberapa kota besar yang merupakan pusat kebudayaan dan pengetahuan, tak terkecuali Syiraz. Di sinilah Mulla Shadra lahir pada tahun 1571M. Syiraz termasuk wilayah Persepolis. Di kota inilah banyak para ilmuan Islam dalam bidang filsafat dan sains bermunculan. Jika dihitung sejak sebelum dinasti Syafawi berkuasa, mereka menikmati transfer keilmuan di kota ini selama hampir dua abad. Di samping itu, kota Syiraz juga mendapatkan banyak pengaruh, agaknya, dari seorang mistikus agung, Ibn Manshur Al-Hallaj. Karena itulah kota Syiraz juga kerap disebut sebagai ‘the tower of mystic’ atau pilar para sufi.

Konon, Shadra lahir di kota Syiraz ini pada tahun 1571. Dia merupakan anak dari salah seorang penguasa pada masa itu, yakni Khwajah Ibrahim ibn Yahya al-Qawami. Nama yang diberikan pada mulanya adalah Shadruddin Muhammad, namun kemudian dia kerap dipanggil dengan Shadruddin atau Shadra. Kota Syiraz adalah tempat pertama di mana Shadra mendapatkan pendidikannya di samping pendidikan dari keluarganya. Namun pada tahun 1577, oleh karena pusat pemerintahan pindah ke Qaswin, orang tua Shadra juga turut berimigran sehingga kemudian Shadra melanjutkan pendidikannya di sini.

Di Qaswin inilah, Shadra mulai kenal dengan beberapa tokoh pemikir besar pada masa itu. Sebagaimana Syiraz, Qaswin juga merupakan kota pusat yang tidak kalah dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan peradabannya. Di samping itu, oleh karena pusat pemerintahan berpindah ke sini, tak ayal, pusat peradaban-pun ikut berpindah. Sehingga banyak para pencari ilmu, karena hal ini menjadi budaya kala itu, turut memenuhi kota Qaswin untuk menempuh ilmu dengan berpindah menuju kota ini.

Guru Pertama Mulla Shadra adalah Baqir Muhammad Astarabadi (w.1631) atau kerap dipanggil dengan sebutan Mir Damad. Mir Damad lahir di Astarabad, kemudian besar di Masyhad. Orang-orang mengenalnya sebagai seorang filsuf, selain itu dia juga dikenal sebagai seorang sufi. Keistimewaannya adalah penggabungan yang dia lakukan antara filsafat Aristoteles serta Neo-Platonisme yang diambil dari para sufi sebelumnya. Mir Damad kerap disebut sebagai peletak dasar filsafat Islam madzhab Isfahan. Dia mendapat banyak pengaruh dari Suhrawardi dalam filsafat iluminasionisnya, dan oleh karena itulah ia juga kerap disebut sebagai guru ketiga setelah Aristoteles dan Al-Farabi.

Dari Mir Damad, Shadra banyak mempelajari ilmu-ilmu rasional (al-ulum al-aqliyyah) serta filsafat peripatetik Ibn Shina dan iluminasionistik Suhrawardi dengan Kitab yang dikarang oleh Mir Damad sendiri, yaitu al-Qabasat. Dalam buku kecilnya yang berjudul Gerbang Kearifan, Prof. Mulyadhi Kartanegara bahkan menyebutkan bahwa sebenarnya Mulla Shadra masih termasuk golongan dari filsafat madzhab Isfahan yang didirikan oleh Mir Damad. Tetapi oleh karena Mulla Shadra mempunyai beberapa perbedaan dalam ajaran filsafatnya, maka para sejarawan kerap menyendirikannya dengan suatu aliran, yakni teosofi transendental. 

Guru Kedua dari Mulla Shadra adalah Mir Abul Qasim Findiriski. Beliau dikenal dengan kehliannya dalam bidang tasawwuf dan filsafat. Darinya, Shadra belajar banyak tentang filsafat peripatetik dan tasawwuf. Mir Abul Qasim Findriski juga dikenal banyak membantu Mir Damad dalam pelajarannya.

Guru Ketiga Shadra adalah Baha` al-Din Muhammad al-Amili (953 – 1030 atau 1031 H), lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Baha`i. Beliau dikenal tidak hanya sebagai filsuf, tapi juga dikenal keahliannya dalam Ilmu Kalam, seorang hakim, penyair, arsitek dan ahli matematika. Darinya, Shadra banyak belajar mengenai Ilmu Tafsir, Hadis dan Fiqh.

Dari kota Qaswin, Shadra berpindah menuju Isfahan mengikuti gurunya. Di sini Shadra belajar dan mendalami ilmunya selama kurang dari sepuluh tahun. Setelah itu, Shadra meninggalkan Isfahan oleh karena perlawanan dari kaum Akhbariyyun yang sangat literal dalam memahami agama. Namun ada perbedaan pendapat tentang Kota tujuan Shadra berikutnya. Ada yang mengatakan dia kembali ke Syiraz dan ada yang mengatakan dia menyendiri di Kahak. Oleh karena ketekunan ibadahnya, pada saat itu Shadra bermimpi dan mendapat petunjuk dari mimpi itu sebagai jawaban atas pertanyaannya tentang kenapa orang-orang kerap mengkafirkannya. Di mimpi bertemu dengan gurunya, Mir Damad dan dia menjawab bahwa “mereka tidak mengkafirkanku karena aku menjelaskan dan menulis sedangkan engkau hanya menjelaskan dan tidak menulis”. Sejak itulah, Shadra mulai menulis berbagai karangan besarnya, terutama Al-Asfar al-Arba`ah.

Filsafat Teosofi Transendental

Aliran al-hikmah al-muta`aliyah merupakan hasil sintesa dari tiga aliran filsafat Islam yang lain, yaitu al-masya`i (peripatetik), al-`irfani (tasawwuf) dan al-isyraqi (iluminasionistik). Dari segi epistemologis, filsafat teosofi transendental ini tidak jauh berbeda dari filsafat irfani. Sebagaimana filsafat irfani, filsafat teosofi transendental percaya tidak hanya pada akal-diskursif tapi juga pengalaman batin. Tentunya dari sini pula bisa dikatakan bahwa kebenaran bisa didapat dari pengalaman batin yang bisa dimasukkan dalam akal-diskursif.

Seperti para sufi juga, Mulla Shadra berargumen tentang ittihad al-aql wa al-ma`qul (bersatunya antara akal yang memikirkan dan yang dipikirkan). Hal demikian adalah karena yang dipikirkan tidak mungkin secara rasional ada tanpa ada yang memikirkan. Ma`qul (yang dipikirkan) akan hendak terputus hubungannya dengan `Aqil (yang memikirkan) jika dipandang sama sekali lain daripada dirinya. Atau lebih gamblangnya, yang berpikir tidak lain daripada yang dipikirkan. Antara yang berpikir dan sasarannya tidak lain adalah dirinya sendiri.

Demikian adalah epistemologi filsafat al-hikmah (demikian juga sebutan lain dari al-hikmah al-muta`aliyah). Sekarang kita melangkah ke pembahasan berikutnya, yakni ontologi filsafat al-hikmah. Dalam pembahasan ontologi ini, agaknya perlu diutamakan argumen Shadra tentang ishalat al-wujud atau wujud yang utama. Berbeda dengan Suhrawardi yang mengatakan bahwa yang utama adalah esensi (mahiyyah), Shadra mengatakan bahwa yang real dan utama adalah eksistensi (karena itulah, filsafat Mulla Shadra kerap juga disebut sebagai filsafat eksistensialisme Islam). Yang real adalah yang sebenarnya, sedangkan esensi atau mahiyyah hanya ada pada alam pikiran, dan sampai kapanpun ia tidak akan pernah nyata. 

“Betul bahwa apa yang kita pahami (mafhum atau konsep) tentang wujud itu memang adalah esensi. Tetapi yang kami maksud di sini adalah wujud sejati dan bukan hanya konsep atau pemahaman kita tentang wujud. Karena kalau itu yang dimaksud, maka ia adalah esensi yang hanya ada dalam alam pikiran (adzhan) dan bukan realitas sejati (a`yan), wujud sejati bukan esensi atau pemahaman tentang wujud melainkan wujud itu sendiri”

Kutipan di atas adalah kritik yang dijulurkan oleh Mulla Shadra dalam menanggapi filsafat iluminasionis yang didirikan oleh Suhrawardi al-Maqtul. Ukuran yang dipakai Mulla Shadra bahwa sesuatu tersebut real atau tidak adalah dengan menggunakan ukuran empiris.

Sesuatu yang wujud dan real itu tidak ber-urgensi untuk dibuktikan. Karena ia dengan sendirinya telah terbuktrikan (self-evident atau badihi), karena sebelum kita mengatakan bahwa sesuatu (apa saja itu) wujud, kita harus (secara otomatis) mengetahui dan meyakini bahwa sesuatu itu ada yang tidak merujuk kepada apapun kecuali kepada dirinya sendiri.

Selanjutnya mari kita lihat konsep Shadra tentang wahdat al-wujud. Konsep ini merupakan pengaruh yang didapat oleh Shadra dari Ibnu Arabi. Tapi pada hakikatnya ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. Konsep wahdat al-wujud ini, kira-kira bisa digambarkan demikian; bahwa merujuk pada apapun itu, entah Tuhan atau sebutir pasir, wujud tetaplah satu. Memang berbeda antara keduanya, yang membedakannya hanyalah degradasi atau level wujudnya. Hal demikian agaknya sama dengan konsep cahaya dalam madzhab iluminasionistik oleh Suhrawardi. Mungkin saja yang demikian tadi adalah pengaruh filsafat yang diterima Shadra dari gurunya, Mir Damad dan Mir Fandiriski. Bahwa cahaya pada dasarnya adalah satu dan semakin jauh cahaya itu dari sumbernya maka semakin tidak murni. Demikian halnya dengan wujud alam semesta, bahwa semakin ia jauh semakin ia berdegradasi rendah. 

Konsep yang demikian tersebut dinamakan dengan tasykik al-wujud atau degradasi wujud (Fazlur Rahman mengartikannya sebagai ambiguitas sistemik). Tasykik al-wujud di sini agaknya mirip dengan konsep Ibnu Arabi tentang Ahadiyyah dan Wahidiyyah, di mana selain mempunyai wujud tunggal ia sekaligus berdegradasi dan banyak. Hal inilah yang kerap disebut sebagai ‘the inclusive unity’.

Konsep tasykik al-wujud ini banyak diungkapkan oleh Shadra dalam kitabnya Al-Hikmah Al-Muta`aliyah fi Al-Asfar Al-Arba`ah atau yang sering disebut Al-Asfar Al-Arba`ah. Dalam kitab ini beliau menjelaskan empat tahap spiritual yang musti dilalui setiap orang untuk menuju kesempurnaan atau dengan bahasa lain untuk mencapai degradasi wujud yang tertinggi.

Secara umum dia mengatakan bahwa wujud terbagi menjadi tiga, yaitu, Materi, Non-Materi dan Tuhan. Alam sendiri dibagi menjadi tiga, yakni, Pertama, Alam Mulk atau alam materi. Di alam ini dijumpai berbagai benda yang berwujud dan berwarna yang tergantung waktu dan tempat. Material yang terkait dengan waktu adalah diidentikkan dengan rusak, karena memang demikianlah sifat materi alam mulk itu sendiri, semakin lama waktu yang dilalui suatu benda semakin ia mendekati kerusakannya. Alam ini merupakan degradasi paling rendah dari yang lain. Semakin mendekati ketinggian, semakin spiritual dan semakin murni ia.

Selanjutnya yang kedua adalah Alam Malakut. Di alam ini tidak di kenal ruang dan waktu, karena itulah tiada batas di dalamnya. Di sini akan ditemukan berbagai form atau bentuk, dengan berbagai macam warna memang. Tapi itu semua tidak terikat waktu ataupun tempat. Oleh karena alam ini berada di antara dua alam, yakni alam Mulk (Materi) dan alam Jabarut (Spiritual Murni) maka ia kerap juga dijuluki dengan sebutan alam Barzakh. Barzakh disini bukan seperti yang banyak digambarkan orang mengenai siksa kubur dan berbagai hal yang menakutkan, bukan hanya itu saja, tetapi di sini juga terdapat berbagai kebaikan dan keindahan. Contoh singkat dalam menggambarkan alam ini adalah alam mimpi yang kerap kita rasakan dan kita lihat. Kurang lebih demikianlah gambaran alam malakut atau alam Barzakh ini. Yang ketiga adalah Alam Jabarut atau alam spiritual murni yang terlepas dari waktu dan tempat dan bahkan form dan warna.

Al-Asfar Al-Arba`ah yang diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Empat Perjalanan adalah proses yang ditempuh seseorang dalam menapaki perjalanan untuk menuju kesempurnaan, adapun empat perjalanan tersebut yaitu:

1. Al-Safar min al-Khalq ila al-Haqq (Perjalanan dari makhluk menuju al-Haqq)
2. Al-Safar fi al-Haqq ma`a al-Haqq (Perjalanan bersama dan di dalam al-Haqq)
3. Al-Safar min al-Haqq ila al-Khalq bi al-Haqq (Perjalanan dari al-Haqq menuju Makhluk dengan disertai al-Haqq)
4. Al-Safar fi al-Khalq bi al-Haqq (Perjalanan di dalam Makhluk dengan al-Haqq)

Satu hal yang menarik dan khas berasal dari Mulla Shadra adalah konsep ‘al-harakah al-jauhariyyah’ atau trans-substantial movement (gerak atau perubahan trans-substansi). Dalam konsep ini, dia memaksudkan bahwa perubahan terjadi bukan hanya pada level aksidental tapi juga substansial. Dengan kata lain, bahwa bahkan perubahan pada level aksidental itu terjadi oleh karena perubahan yang lebih awal terjadi dahulu pada level substansial. Dari konsepnya yang ini, Shadra juga cakap kiranya disebut sebagai filsuf proses. Jika di Barat kita menemukan Whitehead dan Darwin, maka Shadra telah melampaui lebih awal daripada mereka.

Sumber:
Al-Mandari, Mustamin. 2010. Mulla Shadra; Jurnal Islam dan Mistisisme, Yogyakarta : Rausyan Fikr
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Gerbang Kearifan, Jakarta : Lentera Hati
Read more

Kakek Moyang Nusantara dan Pluralisme

Agama Hindu merupakan agama yang pertama kalinya memperkenalkan diri di Bumi Nusantara. Banyak sekali hikmah yang dapat kita ambil dari konsep-konsep ajarannya. Terima atau tidak, agama inilah yang telah membudaya untuk kali pertamanya di Indonesia sehingga Islam yang datang belakangan-pun harus menyesuaikan ajarannya dengan budaya setempat.

Di dalam Agama Hindu dikenal konsep Trimurti, yaitu tiga Dewa yang menguasai Alam Semesta; yaitu Brahma sebagai Pencipta, Wisnu sebagai Pemelihara dan Siva sebagai Pengakhir. Agama Hindu mempunyai tiga sekte; 1. Saiwa, Sekte yang lebih mengutamakan Dewa Siva, 2. Vaisnava, Sekte yang lebih mengutamakan Dewa Wisnu, 3. Sakta, Sekte yang lebih mengunggulkan Dewi Sakti.

Dewi Sakti sebenarnya bukan berasal dari konsep Agama Hindu. Ia ada sebelum suku Arya datang ke India. Bukti keberadaan suku Aryan ini terdapat di beberapa situs purbakala peninggalan India di Mohenjo Daro dan Harappa (sekarang terletak di Pakistan). Dewi Sakti merupakan representasi dari kekuatan wanita di balik lelaki. Dewi ini selanjutnya dikenang dalam sebuah sekte, yakni sekte Sakta. Selanjutnya tiga sekte agama Hindu tersebut dalam perkembangannya, Dewa Brahma tidak terbentuk menjadi sekte tertentu.

Konon, dahulu hingga saat ini dua di antara tiga sekte tersebut, Saiwa dan Vaisnava bersaing ketat dalam rangkaian kisah mitologinya sehingga perbedaan dalam satu wadah tersebut terasa cukup membawa kesan persaingan.
Nyata bahwa Hindu dari India-lah kali pertama agama yang memasuki Nusantara. Agama Hindu yang masuk ke Indonesia adalah Hindu Sekte Saiwa. Sedangkan sekte Vaisnava tidak memasuki bumi Nusantara. Beda India, Beda pula Indonesia. Sekte Saiwa yang berkembang di Nusantara sama sekali tidak pernah bersaing, bahkan pemeluk sekte Saiwa tersebut sangat mengesankan persahabatan dengan paham keagamaan sekte Vaisnava.

Candi Prambanan merupakan saksi bisu akan suasana pluralistik tersebut. Candi tersebut merupakan tempat peribadatan yang dibuat oleh umat Hindu-Saiwa untuk memuji Dewa Siva, namun pahatan yang terdapat di sekeliling candi ini menggambarkan kisah Ramayana dan Krisna yang merupakan titisan Dewa Wisnu. Dari sini kita bisa melihat bahwa Sekte Saiwa menghargai Sekte Vaisnava. Citra kepahlawanan Wisnu berkembang di Jawa sebagai Dewa yang selalu menyelamatkan umat manusia. Di sisi lain memang posisinya adalah sebagai pemelihara alam semesta.

Indonesia musti bangga akan sejarah kesatuan dan suasana pluralistik (antar sekte dalam satu agama) yang berkembang pada masa itu. Salah satu ungkapan dari Kitab Sutasoma oleh Mpu Tantular sepatutnya menjadi cerminan bagi kita dalam mewujudkan kembali suasana keberagamaan yang terkemas dalam penghargaan kepada sekte lain dalam satu wadah. Bhinne Ika Tunggal Ika (Beda Itu Satu Itu) Tan Hanna Dharma Mangrwa (Tidak Ada Kebenaran / Darma yang mendua). Wujud eksoteris boleh berbeda, namun wujud dan tujuan esoteris pasti sama.

Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrwa !!! Bersatulah Indonesiaku !!!
Read more

Filsafat Analitik (The Philosophy of Language) an Introduction

A. Pengertian Filsafat Bahasa

Sebelum memulai pengertian filsafat bahasa, penulis akan menjelaskan lebih awal arti kata masing-masing. Kata filsafat (Arab: falsafah, Inggris: philosophy) berasal dari kata philosophia yang berasal dari Yunani. Kata philosophia tersebut berasal dari dua susunan kata yaitu “philos” yang berarti sahabat dan “sophia” yang berarti kebijaksanaan. Secara terminologis, filsafat adalah berfikir secara radikal terhadap segala sesuatu yang ada. Memang, meskipun tidak ada kesepakatan dalam satu pendefinisian, namun secara umum obyek kajiannya adalah segala sesuatu yang wujud.

Bahasa merupakan sesuatu yang melekat pada manusia. Ia melekat pada kita sebagaimana nafas dan gerak kita sehari-hari, namun sampai saat ini jarang sekali orang-orang menelitinya lebih dalam. Kajian-kajian tentang bahasa (bukan kajian bahasa) masih dianggap minim dan kurang. Konon, orang-orang Yunani cenderung menilai bahasa hanya sebagai ekspresi pikiran, namun mereka melupakan bahwa bahasa justru juga bisa mempengaruhi pikiran.

Bahasa juga merupakan sesuatu yang membedakan antara makhluk yang berakal dengan makhluk yang lain. Dalam bahasa Arab, kata “manthiq” disimbolkan untuk logika. Derivasi kata “manthiq” adalah “nathaqa-yanthiqu-nathqan”. Dalam pemaknaan, kata tersebut mempunyai dua makna atau bisa disebut “musytarak” antara ‘berpikir’ dan ‘berbicara’. Dari sini kita bisa melihat bahwa kegiatan berpikir terkait erat dengan kegiatan berbicara, karena berbicara berarti mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran. Dan -tentunya- di sini kita tidak perlu membedakan antara kata “berbahasa” dan “berbicara” karena keduanya adalah sama alias sinonim.

Secara terminologis menurut Bloomfield, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Karena merupakan sistem, bahasa mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan struktur unsur-unsur yang bisa dianalisis secara terpisah-pisah.

Lantas apakah yang dimaksud dengan filsafat bahasa?
Veerhar menunjukkan dua jalan dalam penggunaan istilah filsafat bahasa.
1. Filsafat Mengenai Bahasa
Seorang filsuf mempunyai sistem tersendiri yang dipakainya untuk mendekati bahasa sebagai objek kajian khusus seperti ia mendekati objek-objek yang lain dengan pijakan system yang sama. Hal demikian bisa dicontohkan seperti seperti ilmu psikolinguistik dan sosiolinguistik.
2. Filsafat Berdasarkan Bahasa
Yang dimaksud Filsafat Berdasarkan Bahasa adalah seperti seorang filsuf yang sedang berfilsafat dan menjadikan bahasa sebagai titik pangkal untuk kegiatan berfilsafat tersebut. Bahasa dalam hal ini dapat mengungkapkan gerak-gerik hati manusia, bagaimana ia berpikir, bagaimana pandangannya mengenai dunia dan manusia itu sendiri tanpa terlebih dahulu menyusun sebuah sistemnya. Dalam hal ini, Veerhar memberikan dua pengertian bahasa yang dijadikan titik pangkal tersebut:
a. Bahasa dalam pengertian eksklusif atau bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari.
b. Bahasa dalam pengertian inklusif atau bahasa yang tidak digunakan sehari-hari dalam komunikasi seperti bahasa tari, bahasa musik dan bahasa alam semesta.
Menurut Rizal Mustansyir, filsafat bahasa adalah suatu penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang digunakan dalam filsafat sehingga dapat dibedakan penyataan filsafat yang mengandung makna (meaningfull) dengan yang tidak bermakna (meaningless).


B. Sejarah Perkembangan Filsafat Bahasa

Lahirnya filsafat bahasa ada kaitannya dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya, terutama Rasionalisme, Empirisme Inggris dan Kritisime Immanuel Kant. Sebagai salah satu aliran filsafat yang lahir pada abad XX, Filsafat Analitik merupakan reaksi terhadap aliran ‘Idealisme’ alias ‘Neo-Hegelianisme’ di Inggris.
Walaupun sebenarnya Idealisme tidak begitu cocok dengan cara pemikiran di Inggris yang sejak abad pertengahan lebih cenderung kepada empirisme yang cukup segan terhadap metafisis, namun sangat mengherankan bahwa aliran Idealisme ini muncul dan meluas di Inggris di mana ia lebih bercorak spekulatif-metafisis.
Pada awal abad XX iklim pemikiran di Inggris mulai berubah. Para pemikir di Inggris mulai mencurigai ungkapan-ungkapan yang di ajarkan oleh kaum Hegelian. Para ahli filsafat inggris mulai menengarai bahwa filsafat yang mereka ajarkan, bukan hanya sulit dipahami, tapi juga jauh dan menyimpang dari akal sehat. Karena itu, para ahli pikir inggris mulai berupaya melepaskan diri dari cengkraman ‘idealisme’ tersebut. Mereka menulis banyak kritikan dalam upaya mengembalikan pemikiran Inggris ke dalam pemikiran sehat dan berdasarkan akal sehat. Awalnya upaya ini dilakukan George Edward Moore disusul Bertand Russel dan Wittgenstein.
Metode analisa bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Para filsuf analitik yang berpegang teguh pada metode analisa bahasa bermaksud membersihkan dan menyembuhkan pemakaian bahasa dalam berfilsafat. Sebab para filsuf analitik menganggap bahwa bahasa filsafat sudah mulai banyak mengandung kekaburan arti (vagueness), kemaknagandaan, ketidak-eksplisitan (inexpliciteness), terlalu tergantung pada konteks (context depence) serta menyesatkan (misleading).
Walaupun dalam perkembangan selanjutnya, metode analisa bahasa yang digunakan oleh mereka mulai berbeda-beda, tapi satu kesamaan dan misinya adalah ‘mengkritik pemakaian bahasa dalam berfilsafat’. Sebagaimana dapat kita jumpai pada tulisan Moore dalam karyanya “the Refutation of Idealism” yang dimuat di majalah Mind, dia memberi kritikan sebagai berikut: “Filsafat kaum Hegelian tidak memiliki dasar logika sehingga tidak dapat diterima akal sehat (common sense)”. Sebagian besar filsafat Moore terdiri dari analisa-analisa. Moore mempraktekkan metode analisa dengan ketelitian yang mengagumkan sehingga menimbulkan penjelasan bahwa filsafat tidak lain adalah penjelasan.
Kehadiran metode analisis bahasa dalam ranah filsafat yang selanjutnya semakin merebak, tidak hanya merupakan reaksi terhadap aliran filsafat yang muncul sebelumnya, akan tetapi juga menandai kelahiran metode filsafat yang baru yang bercorak ‘logosentrisme’.

C. Ruang Lingkup Pembahasan Filsafat Bahasa

Sebelumnya, perlu ditekankan di sini mengenai perbedaan antara Ilmu Bahasa dan Filsafat Bahasa agar tidak terjadi kerancuhan. Ilmu Bahasa atau ‘linguistic’ membahas mengenai ucapan, tata bahasa dan kosakata sedangkan Filsafat Bahasa lebih berkenaan bagaimana suatu ungkapan bahasa itu mempunyai arti sehingga analisa filsafati tidak lagi dimengerti berdasarkan logika teknis (baik logika formal maupun matematik) tetapi berdasarkan penggunaan bahasa biasa. Atau dengan kata lain ia membahas segi makna bahasa (semantic) dan masalah penggunaan bahasa menurut aturan tertentu (pragmatic) dalam bidang filsafat.
Sebuah gambaran cukup jelas mengenai ruang lingkup pembahasan filsafat bahasa telah dijelaskan oleh Mortiner Adler dalam karyanya, ‘The condition of Philosophy’. Mula-mula dia memaparkan perbedaan yang tajam mengenai dua macam pertanyaan filosofis, yaitu ‘pertanyaan jenis pertama’ dan ‘pertanyaan jenis kedua’. Pertanyaan jenis pertama yaitu pertanyaan tentang apa yang terjadi di dunia ini, sedangkan pertanyaan yang kedua adalah pertanyaan mengenai pemikiran kita sewaktu menjawab ‘pertanyaan pertama’. Nah, filsafat bahasa lebih menitik beratkan pada ‘pertanyaan kedua’ tersebut.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah jenis-jenis ‘pertanyaan pertama’ dan ‘pertanyaan kedua’:
Pertanyaan Pertama:
1. Apakah penyebab pertama dari alam semesta? (pertanyaan yang kerap muncul pada era ‘Kosmosentris’)
2. Apakah hakikat manusia itu?
3. Apakah Tuhan ada? Atau tidak ada?
Pertanyaan Kedua:
1. Apakah arti pertanyaan “Apakah penyebab pertama dari alam semesta?”? Apakah pertanyaan demikian itu mengandung arti atau nirarti?
2. Apakah arti pertanyaan “Apakah hakikat manusia itu?”? Apakah pertanyaan tersebut berartia atau nirarti?
3. Apakah pertanyaan “Apakah Tuhan ada? Atau tidak ada?”? Apakah pertanyaan tersebut berarti atau tidak?
Dari sini kita dapat melihat bahwa model pertanyaan yang disuguhkan dalam filsafat bahasa bukan dihadapkan pada realitas, tetapi justru mengkritisi pertanyaan-pertanyaan dan ungkapan-ungkapan tentang realitas yang konon banyak disampaikan oleh kaum Hegelian.
Pada titik ini, Mazhab Analisa Bahasa tampak kelemahannya sebagaimana yang dilontarkan oleh Popper “Mazhab Analisa Bahasa dengan orang yang terus menerus membersihkan kacamatanya tetapi tidak pernah menggunakannya untuk melihat”. Tapi dari sini pula kita bisa melihat kekuatan yang dimiliki Analisa Bahasa, yaitu dengan ketidak-terlibatannya dengan realitas, Analisa Bahasa berada pada posisi netral. Dalam posisi ini mereka dapat menjalankan misi mereka dengan penuh obyektif dalam membersihkan bahasa filsafat dari ungkapan yang tidak bermakna atau omong kosong para filsuf sebelumnya tentang realitas.
Read more

Pengertian dan Sejarah Ulumul Quran


 A.      Definisi Ulumul Quran

Ulumul Quran terdiri dari dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Quran’. Kata ‘ulum’ merupakan bentuk plural dari ‘`ilm’ yang secara etimologis berarti pengetahuan yang tersistem. Sedangkan kata al-Quran (bacaan) merupakan bentuk dasar (mashdar) dari kata ‘qaraa’ yang berarti membaca. Sedangkan menurut al-Zujaj, kata al-Quran merupakan isim sifat yang mengikuti wazan ‘fa`laan’ dan berasal dari kata “al-qar`u” yang berarti pengumpulan.[1]

Sebelum pembahasan berlanjut, agaknya perlu diulas lebih awal mengenai perbedaan antara Ilmu dan dogma. Hal demikian bertujuan agar tidak terjadi kerancuhan atau kesalah pahaman dalam memahami gagasan-gagasan agama. Dogma adalah sebuah proses simplifikasi terhadap persoalan yang rumit sedangkan ilmu adalah sebuah proses sofistikasi terhadap persoalan yang sederhana. Al-Quran pada mulanya adalah sesuatu yang kompleks. Pada proses kejadiannya ia mengalami proses yang sangat panjang melewati berbagai tahap. Tugas dogma adalah menyederhanakan proses yang rumit itu menjadi sebuah konsep sederhana agar mudah dipahami. Karena itu, oleh kalangan awam al-Quran sering didefinisikan sebagai “kitab suci yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas”.[2]

Sementara itu tugas ilmu pengetahuan adalah mengurai “kebenaran” sebagaimana adanya. Ilmu mencoba menjelaskan apa-apa yang diabaikan dogma. Dalam kasus kitab suci, Ilmu tidak hanya berhenti pada definisi yang diberikan oleh agen-agen ortodoksi tapi juga berusaha memasuki momen-momen historis ketika kitab suci itu diturunkan, disampaikan, dibukukan dan lain sebagainya.  Dan itulah tugas daripada Ulumul Quran.

B.      Tema-Tema Ulumul Quran
Pembahasan Ulumul Quran memang banyak, namun kita dapat memberikan klasifikasi berdasarkan tema-temanya sebagaimana berikut ini[3]:
Pertama, pembahasan-pembahasan yang berpautan dengan Nuzul al-Quran yaitu:
a.       Auqat al-Nuzul wa Mawathin al-Nuzul
Berhubungan dengan ayat-ayat yang diturunkan di Makkah yang dinamai ayat Makkiyah, ayat-ayat yang diturunkan di kala Nabi berada di kampung atau disebut Hadlariyah, ayat-ayat yang diturunkan di dalam safar yang dinamai Safariyah, ayat-ayat yang diturunkan disiang hari dinamai Nahriyah, ayat-ayat yang diturunkan dimalam hari yang dinamai Lailiyah.
b.      Asbabun Nuzul
Berkenaan dengan sebab-sebab turunnya al-Quran.
c.       Tarikhun Nuzul
Berkenaan dengan ayat yang mula-mula diturunkan dalam kaitan waktunya, yang berulang-ulang diturunkannya, yang terakhir hukumnya dari turunnya, yang turun tidak berurutan, yang turun dalam satu kesatuan dll.
Kedua, pembahasan masalah sanad. Hal ini berhubungan dengan enam macam persoalan, yakni yang mutawatir, yang ahad, yang syadz, beragam qiraat Nabi, para perawai dan huffadz, kaifiyat al-tahammul (cara penerimaan riwayat).
Ketiga, masalah bacaan (tata cara membaca), yaitu soal waqaf, ibtida’, imalah, mad, mentakhfifkan (meringankan bacaan) hamzah, idgham dll.
Keempat, masalah pembahasan-pembahasan lafad. Sebagaimana terkait dengan beberapa soal, yaitu gharib, mu’rab, majaz, musytarak, mutaradif, isti’arah dan tasyibih.
Kelima, masalah makna-makna al-Quran yang berpautan dengan hukum sebagaimana masalah lafadz ‘am yang tetap dalam keumumannya, ‘am yang dimaksudkan khusus, ‘am yang dikhususkan dengan sunnah, ‘am yang mengkhususkan sunnah, yang nash – yang zhahir – yang mujmal, yang mufashshal, yang manthuq – yang mafhum, yang muthlaq, yang muqayyad, yang muhkam, yang mutasyabih, yang musykil, yang nasikh dan mansukh, yang muqaddam, yang muakhkhar dan lain sebagainya.
Keenam, soal-soal makna al-Quran yang berpautan dengan lafad, yaitu fashl dan washl, ijaz, ithnab, musawah dan qashr.
Tujuan mempelajari ilmu-ilmu ini ialah: “Memperoleh keahlian dalam ber-isntinbath hukum syara` baik mengenai i`tiqad, amalan, budi pekerti maupun lainnya. Berikut ini merupakan tema-tema pokok dalam Ulumul Quran[4]:
a.      Ilmu Mawathin al-Nuzul: Ilmu yang menerangkan tempat-tempat turun ayat, musimnya, awalnya, akhirnya. Kitab yang membahas ilmu ini, banyak. Diantaranya ialah “al-Itqan” susunan mufassir as-Suyuthi.
b.      Ilmu Tawarikh al-Nuzul: Ilmu yang menjelaskan masa turun  ayat dan tertib turunnya satu demi satu dari awal turunnya, hingga akhirnya dan tertib turun surat, dengan sempurna.
c.       Ilmu Asbab al-Nuzul: Ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat. Diantara kitab yang kita  butuhkan dalam tema ini ialah “Lubabun Nuqul” karangan as-Suyuthi. Dalam pada itu perlu diingat, bahwa banyak riwayat dalam kitab ini yang tidak shahih.
d.      Ilmu Qiraat: Ilmu yang menerangkan ragam qiraat (bacaan-bacaan) yang telah diterima Rasul SAW. Qiraat-qiraat ini ada sepuluh ragam dengan tujuh qiraat yang mutawatir, dan tiga yang masyhur. Perlu diketahui bahwa al-Quran atau mushaf yang kita jumpai dimanapun saat ini ditulis menurut qiraat Hafash, salah satu qiraat yang sepuluh itu. Adapun kitab yang paling utama untuk mempelajari ilmu ini ialah  An-Nasyr fil Qiraatil ‘Asyr, gubahan yang amat mendalam oleh al-Imam Ibn al-Jazary.
e.      Ilmu Tajwid: Ilmu yang menerangkan cara membaca al-Quran, tempat memulai dan pemberhentiannya (tempat-tempat ibtida’ dan waqafnya) dan hal lain yang berhubungan dengan itu.
f.        Ilmu Gharib al-Quran: Ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil yang tidak terdapat dalam kitab-kitab biasa, atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini menerangkan makna kata-kata yang halus, tinggi dan pelik. Salah satu rujukan utama dalam mengkaji ilmu ini adalah “al-Mufradat”, tulisan yang amat mendalam  mengenai al-Lughah al-Arabiyyah buah karya ar-Raghib al-Asfahany. Ada juga ilmu yang menerangkan kata-kata al-Quran yang bukan dari bahasa Arab Hijaz. Diantara kitab yang memaparkan ilmu ini, ialah “Lughat al-Qaba`il”, karangan al-Qasim Ibn Salam ditambah lagi dengan ilmu yang menerangkan kata-kata yang berasal dari yang bukan bahasa Arab, ilmu ini dapat ditelaah dalam kitab al-Itqan fi ulum al-Quran.
g.      Ilmu I’rab al-Quran: Ilmu yang menerangkan baris al-Quran dan kedudukan lafad dalam ta’bir (susunan kalimat). Diantara kitab yang  patut menjadi referensi dalam bidang ini  adalah “Imla` ar-Rahman” karangan Abdul Baqa al-Ukhbari.
h.      Ilmu Wujuh Wa al-Nazhair: Ilmu yang menerangkan kata-kata al-Quran yang mempunyai banyak arti. Ilmu ini dapat dipelajari dalam kitab Mut’taraq  al-Aqran, karangan as-Suyuthi.
i.        Ilmu Ma’rifat al-Muhkam wa al-Mutasyabih: Ilmu yang menyatakan ayat-ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang dianggap Mutasyabih. Salah satu kitab mengenai ilmu ini, ialah al-Manzhumah as-Sakhawiyah karangan al-Imam as-Sakhawy.
j.        Ilmu Nasikh Wal Mansukh: Ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian para mufassirin. Untuk bidang ini ada beberapa kitab yang mengulas seperti: al-Nasikh wa al-Mansukh karangan Abu Ja`far an-Nahhas, al-Itqan karangan  as-Suyuthi, Tarikh Tasyri’, Ushul al-Fiqh karangan al-Khudhary, kitab Dinullah fi Kutub Anbiya`ih karangan Dr. Taufiq Shidqy dan ad-Din al- Islami uraian Sayyid Amir Ali.
k.       Ilmu Badai’ al-Quran: Ilmu yang mengulas keindahan-keindahan susunan bahasa al-Quran. Ilmu ini menerangkan kesusteraan al-Quran, keindahan dan ketinggian balaghah-nya. Untuk bidang ini kita bisa menela’ah kitab al-Itqan.
l.        Ilmu I’jaz al-Quran: Ilmu yang menerangkan kekuatan susunan lafadz al-Quran, hingga telah dipandang menjadi mu’jizat atau dapat melemahkan segala ahli dalam bahasa dan sastra Arab untuk meyakinkan kita bahwa al-Quran itu benar-benar bukan susunan yang dibuat manusia, Tuhan sendiri yang menyusun dalam keadaan yang tidak dapat ditandingi oleh seseorang pun jua. Diantara kitab yang memenuhi keperluan ini, ialah “I’jaz al-Quran”, karangan al-Baqilany.
m.    Ilmu Tanasub Ayaat al-Quran: Ilmu yang menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan yang di mukanya dan dengan yang di belakangnya. Jika diperhatikan secara langsung, al-Quran dapat diketahui bahwa ayat-ayatnya putus-putus, yakni tidak bertalian, padahal ayat-ayat itu mempunyai   “Munasabah” (kesesuaian atau keselarasan) antara yang satu dengan yang lainnya. Kitab yang memaparkan ilmu ini ialah “Nazhm ad-Durar”, karangan Ibrahim al-Biqa’.
n.      Ilmu Aqsam al-Quran: Ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan yang terdapat dalam Al Quran. Segala maksud dari sumpah al-Quran telah dibahas secara mendalam oleh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya at-Tibyan.
o.      Ilmu Amtsal al-Quran: Ilmu yang menerangkan pereumpamaan-perumpamaan dalam aat-ayat al-Quran. Salah satu Kitab yang bisa kita dapati ialah Amtsal al-Quran karangan al-Mawardi.
p.      Ilmu  jidal al-Quran: Ilmu yang menerangkan macam-macam perdebatan yang telah dihadapkan al-Quran kepada segenap kaum musyrikin dan lain-lain. Dalam ilmu ini kita dapat mengetahui cara-cara dan sikap-sikap yang digunakan al-Quran untuk berhadapan dengan mereka yang keras kepala. Pembahasan tentang cabang ilmu Quran ini bisa kita jumpai dalam karya Najamuddin ath-Thusy.
q.      Ilmu Adabi Tilawat al-Quran: Ilmu yang menerangkan segala aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan saat membaca al-Quran. Segala adab, kesopanan dan kesantunan yang harus kita jaga dikala membaca al-Quran dengan jelas dibicarakan dalam ilmu ini. Salah satu kitab yang mengulas bidang ini adalah kitab “At-Tibyan” karangan Imam An-Nawawi.
Inilah sebagian dari tema Ulumul Quran. Sangat dibutuhkan pemahaman yang komprehensif dalam berbagai tema ini agar menghasilkan pengetahuan yang menyeluruh mengenai al-Quran.

C.      Ruang Lingkup Ulumul Quran

Sebagaimana terbaginya Ulumul Hadis dalam dua  ranah, secara umum pembahasan Ulumul Quran juga, yaitu:
                                I.            Ilmu Riwayah, yakni ilmu-ilmu al-Quran yang diperoleh melalui jalan riwayat atau naql. Artinya dengan cara menceritakan kembali atau mengutip. Mislanya pengetahuan tentang macam-macam bacaan (qiraat), tempat turunnya ayat, waktu dan sebab-sebabnya.
                              II.            Ilmu Dirayah, yakni ilmu-ilmu al-Quran yang diperoleh dengan jalan pembahasan dan penelitian. Misalnya pengetahuan tentang lafadz-lafadz yang gharib (asing), ayat nasikh dan mansukh dan lain-lain.

Sedangkan ruang lingkup Ulumul Quran dapat dibagi menjadi tiga,  yaitu:
                                I.            Dirasah Ma fi al-Quran: yaitu kajian yang dilakukan berkenaan dengan materi-materi yang terdapat dalam al-Quran seperti kajian tafsir al-Quran
                              II.            Dirasah Ma Haula al-Quran: yaitu kajian yang dilakukan berkenaan dengan materi-materi seputar al-Quran namun lingkupnya di luar materi dalam seperti kajian mengenai Asbab an-Nuzul.
                            III.            Living Quran: yaitu kajian mengenai penerapan dan aplikasi al-Quran pada masyarakat.

D.     Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Quran
                                I.            Abad I dan II Hijriyah
Pada masa Nabi, Abu Bakar dan Umar, Ulumul Quran belum dibukukan. Namun dengan merujuk pada definisi Ulumul Quran sebelumnya, sesungguhnya pada masa ini ia mulai tumbuh dan berkembang. Selanjutnya pada masa Uthman, penulisan al-Quran diseragamkan untuk menjaga persatuan umat Islam. Dan yang dilakukan oleh Uthman tersebut merupakan rintisan bagi lahirnya Ilmu Rasm al-Uthmani.
Pada masa berikutnya, Abu Aswad al-Du`ali meletakkan dasar-dasar gramatikal al-Quran (Qawa`id al-Nahwiyyah) atas perintah khalifah Ali Ibn Abi Thalib untuk memproteksi pelafalannya. Hal demikian dikarenakan pada masa ini  ekspansi kerajaan Islam menyebar ke berbagai daerah dan penduduk non-Arab semakin banyak yang memeluk Agama Islam. Pada saat itulah timbul keresahan dari Ali sehingga memerintah Abu Aswad al-Du`ali untuk merumuskan kaidah gramatikal bahasa Arab agar bahasa al-Quran bisa dipahami dengan sistematis. Masa ini disebut sebagai permulaan Ilmu I`rab al-Quran.[5]
Pada saat Nabi masih hidup, setiap kali sahabat menanyakan suatu  ayat, mereka langsung menanyakan kepada beliau. Namun saat Nabi telah wafat,  mereka berijtihad dalam memberikan penafsiran al-Quran. Selanjutnya para sahabat berpencar di berbagai Negara dan mereka mempunya murid di setiap tempat tinggal mereka yang baru. Gabungan dari tiga sunber di atas yaitu penafsiran Nabi, penafsiran sahabat dan penafsiran tabi`in dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai ‘Tafsir bi al-Ma`thur’. Masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan Ilmu Tafsir al-Quran.[6]

Abad ke-2 Hijriyah dikenal sebagai masa pembukuan (Ashr al-Tadwin) khususnya dalam pembukuan Hadis dengan beragam bab-nya. Pada masa ini juga terdapat pembukuan tafsir al-Quran (bi al-ma`thur) baik rujukannya dari Rasul, sahabat maupun tabi`in. Para pelopor tafsir yang dikenal pada masa ini adalah seperti Yazid bin Harun al-Salami (w.117 H), Syu`bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Waki` bin al-Jirah (w. 197 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 197), Abd al-Razzaq bin Himam (w. 211 H). Mereka semua termasuk juga dalam jajaran ulama` hadis. Mereka menghimpun tafsir dengan menukil pendapat dari kalangan sahabat dan tabi`in.[7] Namun tidak ada satupun dari tulisan mereka yang bisa kita dapati saat ini.[8] Setelah masa ini, beberapa Ulama mulai menulis beberapa kitab tafsir, salah satu yang terkenal hingga saat ini adalah Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H).
Demikianlah proses tersebut berjalan. Awalnya al-Quran didapat dengan metode ‘naqliyyah’ dengan cara talaqqi dan periwayatan, berlanjut pada penulisan tafsir berdasarkan bab-bab kitab hadis, kemudian penafsiran tersebut berdiri dengan caranya sendiri. Bermula dari tafsir bi al-ma`thur disusul tafsir bi al-ra`y.

                              II.            Abad III dan IV Hijriyah

Pada abad ini, beberapa cabang Ulumul Quran mulai bertambah. Beberapa diantaranya adalah sebagaimana berikut[9]:
1.      Ilmu Asbab al-Nuzul disusun oleh Ali ibn al-Madini (w. 234 H)
2.      Ilmu Nasikh & Mansukh dan Ilmu Qiraat disusun Abu Ubaid ibn Salam (w. 224 H).
3.      Ilmu Makki dan Madani disusun oleh Muhammad ibn Ayyub al-Dhirris (w. 294 H).
4.      Ilmu Gharib al-Quran disusun oleh Abu Bakar al-Sijistani (w. 330 H).
Selain itu terdapat beberapa ulama yang menyusun beberapa kitab seputar Ulumul Quran:
1.      Muhammad ibn Khalaf al-Marzuban (w. 309 H) menyusun kitab al-Hawi fi Ulum al-Quran sebanyak 27 juz.
2.      Abu Bakar Muhammad ibn Qasim al-Anbari (w. 328 H) menyusun kitab `Ajaibu Ulum al-Quran. Kitab ini berisi penjelasan mengenai tujuh huruf (bentuk), tentang penulisan mushaf, jumlah bilangan surat, ayat dan kata-kata dalam al-Quran.
3.      Abu Hasan al-Asy`ari (w. 324 H) menyusun kitab al-Mukhtazan fi Ulum al-Quran.
4.      Abu Muhammad al-Qassab Muhammad ibn Ali al-Karakhi (w 360 H) menyusun kitab Nakat al-Quran al-Daallah `ala al-Bayan fi Anwa`i al-Ulum wa al-Ahkam al-Munbiah `an Ikhtilafi al-Anam.
5.      Muhammad ibn `Ali al-Adwafi (w. 388 H) menyusun kitab al-Istighna` fi Ulum al-Quran sebanyak 20 jilid.

                            III.            Abad V dan VI Hijriyah
Pada masa ini cabang Ulumul Quran semakin bertambah, terutama dengan munculnya Ilmu I`rab al-Quran dan Ilmu Mubhamat al-Quran. Adapun Ulama yang berjasa dalam pengembangan Ulumul Quran pada masa ini adalah[10]:
1.      Ali ibn Ibrahim bin Sa`id al-Hufi (w. 430 H). Selain mempelopori Ilmu I`rab al-Quran, dia juga menyusun kitab al-Burhan fi Ulum al-Quran yang terdiri dari 30 jilid. Kitab ini selain menafsirkan al-Quran seluruhnya juga menerangkan ilmu-ilmu al-Quran yang berhubungan dengan ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan. Karena itu dalam kitab ini, Ulumul Quran diuraikan secara terpencar, tidak terkumpul dalam urutan bab, atau bisa disebut tidak tersusun sistematis. Nemun demikian, kitab ini adalah karya besar seorang ulama` yang telah merintis penulisan kitab tentang Ulumul Quran yang agak lengkap.
2.      Abu `Amr al-Dani (w. 444 H) menyusun kitab al-Taysir fi Qiraat al-Sab`i dan kitab al-Muhkam fi al-Nuqat.
3.      Abu al-Qasim ibn Abdirrahman al-Suhaili (w. 581 H) menyusun kitab tentang Mubhamat al-Quran (menjelaskan maksud kata-kata dalam al-Quran yang tidak jelas apa atau siapa yang dimaksudkan).
4.      Ibn al-Jauzi (w. 597 H) menyusun kitab Funun Afnan fi `Ajaib al-Quran dan al-Mujtaba fi Ulum Tata`allaq bi al-Quran.

                            IV.            Abad VII dan VIII Hijriyah
Pada masa ini Ulumul Quran mempunyai cabang baru yaitu Ilmu Majaz al-Quran dan tersusun pula Ilmu Qiraat. Berikut ini merupakan cabang-cabang Ulumul Quran yang muncul dan berkembang pada masa ini:
1.      Ilmu Majaz al-Quran yang dipelopori oleh Ibn `Abd Salam yang terkenal dengan nama al-`Izz (w.660 H)
2.      Ilmu Badai` al-Quran disusun oleh Ibn Abi al-Isba`. Kitab tersebut membahas tentang keindahan bahasa dan kandungan al-Quran.
3.      Ilmu Aqsam al-Quran disusun oleh Ibn al-Qayyim (w. 752 H). ilmu tersebut membahas tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam al-Quran.
4.      Ilmu Hujjaj al-Quran atau Ilmu Jadal al-Quran (ilmu yang membahas tentang bukti-bukti yang dipakai oleh al-Quran untuk menetapkan sesuatu) dipelopori oleh Najm al-Din al-Thufi (w 761 H).
5.      Ilmu Amtsal al-Quran (ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalam al-Quran) dipelopori oleh Abu Hasan al-Mawardi.
6.      Ilmu Qiraat disusun oleh `Alamudin al-Sakhawi (w. 643 H) dalam kitabnya Jamal al-Qurra` wa Kamal al-Iqra`.
Selain itu terdapat juga beberapa ulama yang menysun kitab-kitab seputar Ulumul Quran pada masa ini, yaitu:
1.      Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H) menyusun kitab al-Burhan fi Ulum al-Quran.
2.      Abu Syamah (w. 655 H) menyusun kitab al-Mursyid al-Wajiz fi ma Yata`allaq bi al-Quran.

                              V.            Abad IX dan X Hijriyah
Pada abad IX dan permulaan abad X, karangan yang ditulis para ulama tentang Ulumul Quran semakin banyak. Masa ini merupakan masa produktif dalam penulisan diskursus Ulumul Quran dan merupakan puncak kesempurnaan masa penulisan.[11]
1.      Jalaluddin al-Bulqini menyusun kitab Mawaqi` al-`Ulum min al-Mawaqi` al-Nujum. al-Suyuthi memandang Al-Bulqini sebagai ulama yang mempelopori penyusunan kitab Ulumul Quran yang lengkap, sebab di dalamnya telah tersusun 50 macam ilmu-ilmu al-Quran.
2.      Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiyaji (w. 879 H) menyusun kitab al-Taisir fi Qawa`id Tafsir.
3.      Al-Suyuthi (w. 911 H) menyusun kitab al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir. Penyusunan kitab ini selesai pada tahun 872 H dan merupakan kitab tentang Ulumul Quran yang paling lengkap karena memuat 102 macam ilmu Quran. Namun al-Suyuthi masih belum puas atas karya ilmiah tersebut sehingga kemudian dia menyusun kitab al-Itqan fi Ulum al-Quran yang membahas sejumlah 80 macam ilmu al-Quran.
Setelah al-Suyuthi wafat pada tahun 911 H, perkembangan ilmu-ilmu al-Quran seolah-olah telah mencapai pundaknya dan berhenti. Stagnasi ini terus berlanjut hingga akhir Abad XIII H.

                            VI.            Abad XIV
Setelah memasuki abad XIV H ini, penulisan diskursus Ulumul Quran dengan berbagai cabang ilmunya mulai berkembang kembali. Di antaranya yaitu[12]:
1.      Muhammad Abdul Adhim al-Zarqani menyusun kitab Manahil al-`Irfan fi `Ulum al-Quran.
2.      Thanthawi al-Jauhari mengarang kitab al-Jawahir fi Tafsir al-Quran dan kitab al-Quran wa `Ulum al-`Ashriyyah.
3.      Musthafa al-Maraghi menyusun risalah tentang “Boleh Menerjemahkan al-Quran”.
4.      Sayyid Quthb mengarang kitab al-Tashwir al-Fann fi al-Quran dan Fi Dhilal al-Quran.
5.      Muhammad Rasyid Ridha mengarang kitab Tafsir al-Quran al-Hakim. Kitab ini menafsirkan al-Quran secara ilmiah dan juga membahas Ulumul Quran.
6.      Muhammad al-Ghazali mengarang kitab Nadzratun fi al-Quran.
7.      Dr. Subhi al-Shalih mengarang kitab Mabahits fi Ulum al-Quran.
Dari semua uraian di atas, bisa kita simpulkan bahwa kali pertama istilah Ulumul Quran digunakan dan dirintis oleh Ibn al-Marzuban (309 H) pada abad III. Dilanjutkan Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa`id al-Hufi (430 H) pada abad V. kemudian dikembangkan oleh Ibn al-Jauzi (597 H) pada abad VI dan diteruskan oleh al-Sakhawi (643 H) pada abad VII. Selanjutnya disemmpurnakan oleh al-Zarkasyi (794 H) pada abad VIII dan ditingkatkan lagi oleh al-Bulqini (824 H) dan al-Kafiyaji (879 H) hingga akhirnya disempurnakan lagi oleh al-Suyuthi pada akhir abad IX dan awal abad XIII H.


[1] Abdul Mu`id Ruba`i dkk., Ulum al-Tafsir li al-Qism  al-Awwal, (Jakarta: Departemen Agama, 1996), h. 1
[2] Abd Moqsith Ghazali dkk., Metodologi Studi al-Quran, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 1-2
[3] Muhammad Hasbi ash-Shidddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 96-97
[4] Ibid, h. 98-102
[5] Manna` al-Qaththan, Mabahith fi Ulum al-Quran, (Riyadh: Mansyurat al-`Ashr al-Hadith, Tanpa Tahun), h.  10
[6] Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2007), h. 106
[7] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Quran, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 27
[8] Manna` al-Qaththan, Mabahith fi Ulum al-Quran …Ibid, h. 12
[9] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Quran… ibid, h. 28-29
[10] Ibid, h. 28-29
[11] Ibid, h. 30
[12] Ibid, h. 31
Read more